Setahun Setelah Pandemi, Lalu Apalagi?
Kita, di sini dan di hampir semua bangsa-bangsa di dunia, telah menjalani tahun pertama masa penuh kecemasan. Masa pandemi dimana Covid 19 telah menjadikan dunia kita, tiba-tiba saja berubah. Dunia yang sama sekali berbeda dari dunia kita, pada tahun-tahun sebelumnya.
Mulanya, pandemi Covid begitu menghentak dan mencemaskan. Tiba-tiba banyak yang menjadi panik. Ada juga yang tetap berjaga dan bertahan dengan kewaspadaan. Sampai kemudian, hari-hari berlalu hingga masa satu tahun. Masa di mana pada akhirnya kita akan suatu pertanyaan, yang setidaknya menurut kita adalah bijak: Apa yang kita pelajari dari setahun ini? Apa hikmah dari pandemi ini?
Seorang ahli anthropologi sejarah, penulis buku Sapiens, Homodeus dan 21 Lessons for the 21st Century, Yuval Noah Harari mengajukan pertanyaan ini dalam sebuah artikel yang berjudul The World After Coronavirus.
Menarik untuk diikuti, karena pemikiran Harari dari berbagai risetnya, setidaknya membuat suatu terawang yang menjanjikan: Badai pasti berlalu, tapi pilihan kita hari ini akan menentukan kehidupan kita di masa depan.
Harari menyebutkan bahwa umat manusia saat ini sedang menghadapi sebuah krisis global, yaitu virus korona. Barangkali krisis terbesar yang terjadi pada generasi kita. Keputusan yang dibuat oleh masyarakat dan pemerintah beberapa minggu berikutnya akan membentuk dunia beberapa tahun berikutnya.
“Mereka tidak hanya akan membentuk sistem kesehatan, tetapi juga ekonomi, politik, dan kebudayaan kita. Kita harus bergerak cepat dan penuh keyakinan. Kita juga harus memperhitungkan dampak jangka panjang dari tindakan yang diambil.
Manakala kita mencoba memilih sebuah alternatif, kita seharusnya tidak hanya mempertanyakan bagaimana mengatasi ancaman yang terjadi saat ini, tetapi juga dunia apa yang ingin kita tinggali selepas badai berlalu.
Ya, badai pasti akan berlalu, umat manusia akan bertahan, banyak dari kita akan tetap hidup — akan tetapi kita akan tinggal di sebuah dunia yang berbeda.
Banyak tindakan darurat jangka pendek akan dijadikan pengaturan hidup. Itu adalah watak alamiah dari kedaruratan. Mereka mempercepat sebuah proses sejarah.
Keputusan yang pada waktu normal memerlukan pertimbangan bertahun-tahun dapat dirampungkan hanya dalam rentang hitungan jam. Teknologi yang belum layak uji dan bahkan berbahaya terpaksa dipergunakan, karena memilih untuk diam menyimpan risiko lebih besar.
Seluruh negara dijadikan marmut percobaan dalam eksperimen sosial skala luas. Apa yang terjadi ketika orang-orang bekerja dari rumah dan berkomunikasi hanya dari jarak jauh? Apa yang terjadi ketika sekolah dan universitas beroperasi lewat daring?
Pada waktu normal, jajaran pemerintah, pengusaha, dan pendidik tidak akan pernah setuju untuk menjalankan eksperimen tersebut. Tapi jelas ini bukanlah waktu normal.
Dalam masa krisis seperti sekarang, kita dihadapkan dengan dua pilihan penting secara khusus. Pertama, antara pengawasan totaliter dan pemberdayaan sipil. Kedua, antara isolasi nasionalis dan solidaritas global.
Demi menghentikan epidemi, seluruh penduduk harus patuh pada panduan tertentu. Terdapat dua cara utama demi mencapai hal tersebut.
Metode pertama adalah pemerintah harus memantau setiap orang, dan menghukum siapa saja yang melanggar ketentuan yang ditetapkan. Saat ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, teknologi memungkinkan pemantauan terhadap semua orang setiap saat.
Lima puluh tahun silam, KGB tidak mampu mengikuti warga Soviet yang berjarak 240 m selama 24 jam, KGB juga tidak bisa berharap dapat memproses seluruh informasi yang terkumpul secara efektif.
KGB mengandalkan agensi dan analis manusia, dan oleh karena itu tidak mungkin menempatkan agen manusia untuk mengawasi setiap gerak-gerik warganegara. Akan tetapi, pemerintah hari ini dapat mengandalkan sensor di mana-mana dan algoritma yang kuat ketimbang hantu berdarah daging.
Dalam pergulatan mereka melawan epidemi virus korona pemerintah telah mengerahkan banyak perangkat pengawasan termutakhir. China merupakan kasus yang layak diperhatikan.
Dengan mengawasi secara seksama gawai setiap orang, mempergunakan ratusan juta kamera pengenal wajah, dan mewajibkan setiap orang untuk mengecek dan melaporkan temperatur tubuh dan kondisi medis mereka, otoritas China tak hanya dapat cepat mengidentifikasi mereka yang dicurigai terjangkit virus korona, tetapi juga melacak pergerakan mereka dan mengidentifikasi dengan siapa saja mereka bersentuhan.
Berbagai aplikasi seluler memberikan peringatan terhadap warga terkait kedekatan jarak mereka dengan pasien terinfeksi. Kecerdasan buatan miliki pemerintah China menjadi Big Brother.
Teknologi jenis ini tidak hanya terbatas di Asia Timur. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu baru-baru ini melimpahkan wewenang kepada Badan Pertahanan Israel untuk mengerahkan teknologi pengawasan yang pada biasanya dipergunakan demi menumpas teroris untuk melacak pasien virus korona.
Saat tim kecil bersangkutan menolak untuk melimpahkan wewenang bertindak, Netanyahu menabraknya dengan “dekrit keadaan darurat”.
Anda mungkin berpendapat bahwa tidak ada yang baru dari semua ini. Dalam beberapa tahun belakangan pemerintah dan korporasi sudah menggunakan teknologi tercanggih yang pernah ada untuk melacak, memantau, dan memanipulasi orang banyak.
Apabila kita tidak berhati-hati, epidemi akan menjadi sebuah babak baru dalam sejarah pengawasan umat manusia. Bukan hanya karena ia dapat melumrahkan penggunaan perangkat pengawasan massal dalam suatu negara yang selama ini menolak hal tersebut, melainkan juga karena ia menandai sebuah transisi dramatis dari pengawasan “di luar kulit” menuju pengawasan “di dalam kulit”
Hingga kini, saat jarimu menyentuh layar gawai dan menekan sebuah pranala, pemerintah ingin mengetahui secara seksama apa yang kamu tekan. Tetapi dengan virus korona, fokus perhatian berubah. Sekarang pemerintah ingin mengetahui temperatur jarimu sekaligus tekanan darah di balik kulit.”
Setidaknya, apa yang ditulis oleh Harari di atas, mengarahkan kita pada suatu jawaban yang bisa kita renungkan sendiri. Bahwa, pandemi yang kita lewati (suatu saat nanti), tidak hanya akan menyisakan persoalan-persoalan. Lebih dari itu, ada perubahan-perubahan yang akan mendorong kita, mau tidak mau, meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama.
Dunia setelah pandemi, ada dunia yang akan memberikan kebiasan-kebiasaan baru buat kita. Dan, digitalisasi adalah salah satunya… (*)
* Materi tulisan ini sebagian diambil dari https://evidensi.com/yuval-harari-dunia-setelah-virus-korona/